Zamroni Sw.
Di manakah sekolah berada; jalan
ke sekolah itu ke selatan atau utara? Konon, sekolah ada di mana-mana: di kota,
desa, perbukitan, dan tepi hutan; di pulau-pulau yang jauh dan terpencil.
“Engkau tak perlu khawatir tak
memperoleh sekolah, Nak,” kata Pak Lurah. “Setiap seratus langkah engkau akan
menjumpai sekolah. Teruskan saja usahamu dan jangan pernah menyerah.”
Kuteruskan langkahku menuju
sekolah. “Mencari sekolah
sekarang sungguh sangat susah!” kata seorang pedagang buah. “Sekolah memang ada
di mana-mana, tapi untuk diterima di sekolah bermutu rendah pun biaya
pendaftarannya tidaklah murah.”
Aku tak begitu peduli dan terus
berjalan menuju sekolah. “Sekolah yang bagaimana
yang kauidamkan, Nak?” tanya seorang pegawai pemerintah. “Yang berbiaya mahal,
tak perlu mengikuti pelajaran, tetapi dijamin dapat ijazah, atau yang berbiaya
murah dan harus mengikuti pelajaran setiap hari, tetapi sepuluh tahun belum
tentu dapat tanda bukti?”
Di sudut jalan kudengar obrolan
orang di warung kopi. Mereka ragu apakah pendidikan
masih punya arti. Setiap tahun ribuan
sarjana diwisuda dan diluluskan, setiap bulan jutaan
orang menunggu pekerjaan.
Dari koran dan majalah kubaca
berita. Para warga
mengeluarkan banyak biaya untuk bisa sekolah
hingga menjadi sarjana, tapi tak sedikit yang
kandas di tengah jalan dan akhirnya menjadi
anak jalanan, pengemis, pengamen, preman, atau gelandangan.
Sebagian konon sukses jadi anggota dewan, konglomerat, dan pejabat tinggi, tapi
nyaris tak punya pekerjaan pasti selain korupsi dan manipulasi.
Lewat televisi petinggi negeri mencanangkan
janji. Edukasi adalah misi yang akan terus direvisi. Para ahli mengumumkan beribu-ribu
opini: di kelas konon guru-guru
mengajar sesuka hati, kepala sekolah dan
kepala dinas sibuk kolusi hingga lahir
murid-murid yang pandai berkelahi.
Di manakah sekolah kini berada? Di sepanjang jalan aku
seperti melihat bangunan sekolah
berdiri di mana-mana, tapi kegiatan
belajar-mengajar tak ada di sana. Ruang-ruangnya gelap
dan berdebu, tiada tanda-tanda terjadi pergulatan ilmu hanya terdengar
hiruk-pikuk yang bertalu-talu.
Di manakah aku harus mencari tahu? Kepada siapa aku harus berguru dan bagaimana cara yang benar mendapat ilmu?
Di depan sebuah bangunan megah yang sepintas seperti
sekolah, aku menghentikan langkah. Ingin aku memastikan, apakah itu tempatnya untuk menempa diri jadi
insan berguna.
Namun, kaki dan tubuhku sudah
terlalu lelah. Dalam gundah, perasaan
terbelah-belah. Rasanya aku belum juga
menjumpai sekolah yang dikatakan orang
bijak sebagai tempat sejati mendapatkan ilmu dan
kearifan hakiki.
Manahan, 17 Oktober 2010