Oleh Akhmad Zamroni Sw.
Kurang
lebih satu tahun lalu, banyak warga masyarakat dan pengamat merasa khawatir
saat mengetahui kubu Joko Widodo merangkul kubu Prabowo Subianto untuk
berkoalisi dalam menjalankan pemerintahan baru periode 2019-2024.
Saat
koalisi itu akhirnya terjadi dan terbentuk beberapa saat menjelang bulan
Oktober 2019 silam, kekhawatiran masyarakat dan pengamat kemudian menjelma
menjadi apatisme dan pesimisme terhadap kompetensi pemerintahan baru dalam
menjalankan demokrasi di Indonesia.
Koalisi
masif yang mempertemukan dua kekuatan terbesar (PDIP dan Gerindra) dalam
konstelasi politik Indonesia jelas akan mereduksi dan melucuti oposisi sehingga
aplikasi demokrasi sulit sekali dapat berjalan sebagaimana mestinya dalam
penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Jokowi
dan PDIP memang sudah selayaknya memegang kendali pemerintahan karena
memenangkan kontestasi Pemilu 2019, sedangkan sebagai pihak yang kalah dan di
parlemen hanya menempati posisi kedua, Prabowo dan Gerindra seharusnya mengisi kubu
oposisi.
Jika
Prabowo-Gerindra berada di kubu opisisi, akan terbentuk checks and balances yang
seimbang antara fraksi penguasa dan fraksi oposisi di parlemen (DPR) serta antara
parlemen dan pemerintah dalam ketatanegaraan kita karena Prabowo-Gerindra
memiliki jumlah personel (kursi) yang besar dan kompetitif terhadap
Jokowi-PDIP.
Namun, Prabowo-Gerindra
sudah telanjur berkongsi dengan Jokowi-PDIP sehingga dinamika di parlemen serta
kontrol DPR terhadap pemerintah sangat jelas tidak bergerak atau berjalan
melalui proses checks and balances yang memadai karena oposisi tinggal dipegang
kekuatan gurem (PKS dan Demokrat) yang secara kuantitas jauh di bawah kekuatan
koalisi Prabowo-Gerindra dan Jokowi-PDIP.
Maka, konsekuensinya
menjadi sangat gamblang: kebijakan-kebijakan pemerintah dan bahkan keputusan-keputusan
DPR sendiri tidak dirancang dan ditetapkan melalui mekanisme demokrasi yang
memadai, yakni pengawasan, kontrol, dan kritik yang semestinya, sehingga baik
kebijakan pemerintah maupun DPR banyak yang tidak aspiratif serta cenderung hanya
mengakomodasi kepentingan segolongan orang dan masyarakat saja.
Pengesahan
revisi undang-undang KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan pemilihan anggota
pimpinan KPK yang terasa sekali berindikasi “pelemahan terhadap lembaga
antirasuah ini” serta pengesahan undang-undang omnimbus law cipta kerja yang
sangat pro pengusaha menjadi contoh paling konkret dari tidak berfungsinya sistem
demokrasi (checks and balances) dengan
baik dalam pengambilan keputusan di lembaga DPR dan pemerintahan negara kita akibat
kecil dan lemahnya oposisi.
Sampai
dengan tahun 2024 mendatang, hampir dapat dipastikan hal-hal serupa akan terus
terjadi: kebijakan-kebijakan pemerintah dan DPR akan dirancang, didiskusikan, diputuskan,
dan ditetapkan (disahkan) hanya dengan sedikit mempertimbangkan atau bahkan
sama sekali mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi.
Hingga sejauh
ini, implementasi demokrasi masih tergantung pada oposisi: kurang atau tiada
oposisi, demokrasi dapat terbengkalai atau bahkan mati; ada oposisi yang
memadai, demokrasi dapat diharapkan bisa berdenyut dan hidup kembali.