Friday, April 20, 2018

Tergantung pada Koma (5)


Zamroni Sw.
Ini adalah sebuah perjalanan tanpa perhentian. Melaju dengan kecepatan angin yang berembus dari liang peradaban yang kacau. Meliuk di antara puing-puing reruntuhan zaman yang uzur dimakan waktu.
Seabad lebih lalu kita mengukur jarak dan menancapkan tiang untuk menandai akhir perjalanan. Namun, petualangan membuatnya tak berguna. Tak ada lagi kata berhenti untuk selamanya. Kita hanya bisa berhenti untuk sementara, sekadar melepas lelah dan  meredakan jengah dan amarah.
Seabad kemudian perjalanan kita menjelma pengembaraan yang sarat pertarungan. Penaklukan dan pertumpahan darah nyaris membuat kita kalah. Beruntung, para martir dan leluhur tak pernah menyerah. Mereka menghunus senjata  dan menyabung nyawa demi anak cucunya.
Berabad-abad yang akan datang tempat singgah kian punah oleh pertempuran. Bumi berputar cepat sekali hingga matahari sulit dikenali. Waktu yang tergilas mimpi hanya sedikit menyisakan jeda di antara jejak-jejak yang mengular ke puncak. Reruntuhan langit mengubur bunga dan dedaunan yang berguguran oleh musim kemarau yang teramat panjang.
Berabad-abad adalah waktu yang singkat untuk mengembara. Dan tanah negeri terlalu gersang untuk menjadi tempat istirahat yang nyaman tanpa gangguan. Nyaris tiada lagi waktu tersisa untuk menyusun rencana dan mengobati luka. Para petarung kian rakus dan membabi buta memperebutkan takhta. Bom waktu bertebaran di lembaran sejarah yang basah oleh darah dan sangit oleh terbakarnya langit.
Abad tidak akan pernah membuat frustrasi atau putus asa. Mungkin hanya akan merepotkan dalam waktu kurang dari sewindu. Kita harus jadi lakon tak terkalahkan yang terus mengembara dan bertarung sampai waktu menyerah kepada sejarah. Dan cerita paripurna oleh kematian massal dan senjakala riwayat manusia dan dunia.
Solo-Ngawi, Maret-April 2018

No comments:

Post a Comment