Thursday, October 29, 2020

Tergantung pada Oposisi

 Oleh  Akhmad Zamroni Sw.


Source: Grafis Zamroni


Kurang lebih satu tahun lalu, banyak warga masyarakat dan pengamat merasa khawatir saat mengetahui kubu Joko Widodo merangkul kubu Prabowo Subianto untuk berkoalisi dalam menjalankan pemerintahan baru periode 2019-2024.

Saat koalisi itu akhirnya terjadi dan terbentuk beberapa saat menjelang bulan Oktober 2019 silam, kekhawatiran masyarakat dan pengamat kemudian menjelma menjadi apatisme dan pesimisme terhadap kompetensi pemerintahan baru dalam menjalankan demokrasi di Indonesia.

Koalisi masif yang mempertemukan dua kekuatan terbesar (PDIP dan Gerindra) dalam konstelasi politik Indonesia jelas akan mereduksi dan melucuti oposisi sehingga aplikasi demokrasi sulit sekali dapat berjalan sebagaimana mestinya dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Jokowi dan PDIP memang sudah selayaknya memegang kendali pemerintahan karena memenangkan kontestasi Pemilu 2019, sedangkan sebagai pihak yang kalah dan di parlemen hanya menempati posisi kedua, Prabowo dan Gerindra seharusnya mengisi kubu oposisi.

Jika Prabowo-Gerindra berada di kubu opisisi, akan terbentuk checks and balances  yang seimbang antara fraksi penguasa dan fraksi oposisi di parlemen (DPR) serta antara parlemen dan pemerintah dalam ketatanegaraan kita karena Prabowo-Gerindra memiliki jumlah personel (kursi) yang besar dan kompetitif terhadap Jokowi-PDIP.

Namun, Prabowo-Gerindra sudah telanjur berkongsi dengan Jokowi-PDIP sehingga dinamika di parlemen serta kontrol DPR terhadap pemerintah sangat jelas tidak bergerak atau berjalan melalui proses checks and balances  yang memadai karena oposisi tinggal dipegang kekuatan gurem (PKS dan Demokrat) yang secara kuantitas jauh di bawah kekuatan koalisi Prabowo-Gerindra dan Jokowi-PDIP.

Maka, konsekuensinya menjadi sangat gamblang: kebijakan-kebijakan pemerintah dan bahkan keputusan-keputusan DPR sendiri tidak dirancang dan ditetapkan melalui mekanisme demokrasi yang memadai, yakni pengawasan, kontrol, dan kritik yang semestinya, sehingga baik kebijakan pemerintah maupun DPR banyak yang tidak aspiratif serta cenderung hanya mengakomodasi kepentingan segolongan orang dan masyarakat saja.

Pengesahan revisi undang-undang KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan pemilihan anggota pimpinan KPK yang terasa sekali berindikasi “pelemahan terhadap lembaga antirasuah ini” serta pengesahan undang-undang omnimbus law  cipta kerja yang sangat pro pengusaha menjadi contoh paling konkret dari tidak berfungsinya sistem demokrasi (checks and balances) dengan baik dalam pengambilan keputusan di lembaga DPR dan pemerintahan negara kita akibat kecil dan lemahnya oposisi.

Sampai dengan tahun 2024 mendatang, hampir dapat dipastikan hal-hal serupa akan terus terjadi: kebijakan-kebijakan pemerintah dan DPR akan dirancang, didiskusikan, diputuskan, dan ditetapkan (disahkan) hanya dengan sedikit mempertimbangkan atau bahkan sama sekali mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi.

Hingga sejauh ini, implementasi demokrasi masih tergantung pada oposisi: kurang atau tiada oposisi, demokrasi dapat terbengkalai atau bahkan mati; ada oposisi yang memadai, demokrasi dapat diharapkan bisa berdenyut dan hidup kembali.

Depends on the Opposition

By  Akhmad Zamroni Sw.

Source: https://bit.ly-2YQZhn

Approximately one year ago, many community members and observers were worried when they learned that Joko Widodo’s camp was embracing Prabowo Subianto’s camp to form a coalition in running the new government for the 2019-2024 period.

When the coalition finally took place and was formed some time before October 2019, the concerns of the public and observers then turned into apathy and pessimism about the competence of the new government in carrying out democracy in Indonesia.

The massive coalition that brings together the two biggest powers (PDIP and Gerindra) in the Indonesian political constellation will clearly reduce and disarm the opposition so that the application of democracy is very difficult to run properly in the administration of the life of the nation and state.

Jokowi and PDIP should indeed take control of the government because they won the 2019 Election contestation, while as the losers and in parliament only occupying the second position, Prabowo and Gerindra should fill the opposition camp.

If Prabowo-Gerindra is in the opposition camp, there will be balanced checks and balances between the ruling and opposition factions in the parliament (DPR) and between parliament and the government in our state administration because Prabowo-Gerindra has a large number of personnel (seats) and is competitive with Jokowi-PDIP.

However, Prabowo-Gerindra has already partnered with Jokowi-PDIP so that the dynamics in the parliament and the control of the DPR on the government are clearly not moving or going through a process of adequate checks and balances because the opposition only remains to be held by small forces (PKS and Demokrat) which are quantitatively far behind under the power of the Prabowo-Gerindra and Jokowi-PDIP coalitions.

Thus, the consequences are very clear: government policies and even the DPR's own decisions are not designed and determined through adequate democratic mechanisms, namely proper supervision, control and criticism, so that both government and DPR policies are not aspirational and tend to be only accommodate the interests of a group of people and society.

The ratification of the revision of the KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi --- Corruption Eradication Commission) law and the election of members of the KPK leadership which strongly indicated the “weakening of this anti-corruption institution” and the ratification of the omnimbus law on work copyright which was very pro-entrepreneurial were the most concrete examples of the malfunctioning of the democratic system (checks and balances) properly in decision-making in the DPR and the government of our country due to the small and weak opposition.

Until 2024, it is almost certain that similar things will continue to happen: government and DPR policies will be drafted, discussed, decided, and enacted (passed) with little consideration or even completely ignoring democratic principles.

So far, the implementation of democracy still depends on the opposition: less or no opposition, democracy can be neglected or even dead; there is adequate opposition, democracy can be expected to pulsate and come to life.


Friday, September 25, 2020

Perjalanan Menemukan Sekolah

Zamroni Sw.

Di manakah sekolah berada; jalan ke sekolah itu ke selatan atau utara? Konon, sekolah ada di mana-mana: di kota, desa, perbukitan, dan tepi hutan; di pulau-pulau yang jauh dan terpencil.

“Engkau tak perlu khawatir tak memperoleh sekolah, Nak,” kata Pak Lurah. “Setiap seratus langkah engkau akan menjumpai sekolah. Teruskan saja usahamu dan jangan pernah menyerah.”

Kuteruskan langkahku menuju sekolah. “Mencari sekolah sekarang sungguh sangat susah!” kata seorang pedagang buah. “Sekolah memang ada di mana-mana, tapi untuk diterima di sekolah bermutu rendah pun biaya pendaftarannya tidaklah murah.”

Aku tak begitu peduli dan terus berjalan menuju sekolah. “Sekolah yang bagaimana yang kauidamkan, Nak?” tanya seorang pegawai pemerintah. “Yang berbiaya mahal, tak perlu mengikuti pelajaran, tetapi dijamin dapat ijazah, atau yang berbiaya murah dan harus mengikuti pelajaran setiap hari, tetapi sepuluh tahun belum tentu dapat tanda bukti?”

Di sudut jalan kudengar obrolan orang di warung kopi. Mereka ragu apakah pendidikan masih punya arti. Setiap tahun ribuan sarjana diwisuda dan diluluskan, setiap bulan jutaan orang menunggu pekerjaan.

Dari koran dan majalah kubaca berita. Para warga mengeluarkan banyak biaya untuk bisa sekolah hingga menjadi sarjana, tapi tak sedikit yang kandas di tengah jalan dan akhirnya menjadi anak jalanan, pengemis, pengamen, preman, atau gelandangan. Sebagian konon sukses jadi anggota dewan, konglomerat, dan pejabat tinggi, tapi nyaris tak punya pekerjaan pasti selain korupsi dan manipulasi.

Lewat televisi petinggi negeri mencanangkan janji. Edukasi adalah misi yang akan terus direvisi. Para ahli mengumumkan beribu-ribu opini: di kelas konon guru-guru mengajar sesuka hati, kepala sekolah dan kepala dinas sibuk kolusi hingga lahir murid-murid yang pandai berkelahi.

Di manakah sekolah kini berada? Di sepanjang jalan aku seperti melihat bangunan sekolah berdiri di mana-mana, tapi kegiatan belajar-mengajar tak ada di sana. Ruang-ruangnya gelap dan berdebu, tiada tanda-tanda terjadi pergulatan ilmu hanya terdengar hiruk-pikuk yang bertalu-talu.

Di manakah aku harus mencari tahu? Kepada siapa aku harus berguru dan bagaimana cara yang benar mendapat ilmu?

Di depan sebuah bangunan megah yang sepintas seperti sekolah, aku menghentikan langkah. Ingin aku memastikan, apakah itu tempatnya untuk menempa diri jadi insan berguna.

Namun, kaki dan tubuhku sudah terlalu lelah. Dalam gundah, perasaan terbelah-belah. Rasanya aku belum juga menjumpai sekolah yang dikatakan orang bijak sebagai tempat sejati mendapatkan ilmu dan kearifan hakiki.

Manahan, 17 Oktober 2010