Friday, September 25, 2020

Perjalanan Menemukan Sekolah

Zamroni Sw.

Di manakah sekolah berada; jalan ke sekolah itu ke selatan atau utara? Konon, sekolah ada di mana-mana: di kota, desa, perbukitan, dan tepi hutan; di pulau-pulau yang jauh dan terpencil.

“Engkau tak perlu khawatir tak memperoleh sekolah, Nak,” kata Pak Lurah. “Setiap seratus langkah engkau akan menjumpai sekolah. Teruskan saja usahamu dan jangan pernah menyerah.”

Kuteruskan langkahku menuju sekolah. “Mencari sekolah sekarang sungguh sangat susah!” kata seorang pedagang buah. “Sekolah memang ada di mana-mana, tapi untuk diterima di sekolah bermutu rendah pun biaya pendaftarannya tidaklah murah.”

Aku tak begitu peduli dan terus berjalan menuju sekolah. “Sekolah yang bagaimana yang kauidamkan, Nak?” tanya seorang pegawai pemerintah. “Yang berbiaya mahal, tak perlu mengikuti pelajaran, tetapi dijamin dapat ijazah, atau yang berbiaya murah dan harus mengikuti pelajaran setiap hari, tetapi sepuluh tahun belum tentu dapat tanda bukti?”

Di sudut jalan kudengar obrolan orang di warung kopi. Mereka ragu apakah pendidikan masih punya arti. Setiap tahun ribuan sarjana diwisuda dan diluluskan, setiap bulan jutaan orang menunggu pekerjaan.

Dari koran dan majalah kubaca berita. Para warga mengeluarkan banyak biaya untuk bisa sekolah hingga menjadi sarjana, tapi tak sedikit yang kandas di tengah jalan dan akhirnya menjadi anak jalanan, pengemis, pengamen, preman, atau gelandangan. Sebagian konon sukses jadi anggota dewan, konglomerat, dan pejabat tinggi, tapi nyaris tak punya pekerjaan pasti selain korupsi dan manipulasi.

Lewat televisi petinggi negeri mencanangkan janji. Edukasi adalah misi yang akan terus direvisi. Para ahli mengumumkan beribu-ribu opini: di kelas konon guru-guru mengajar sesuka hati, kepala sekolah dan kepala dinas sibuk kolusi hingga lahir murid-murid yang pandai berkelahi.

Di manakah sekolah kini berada? Di sepanjang jalan aku seperti melihat bangunan sekolah berdiri di mana-mana, tapi kegiatan belajar-mengajar tak ada di sana. Ruang-ruangnya gelap dan berdebu, tiada tanda-tanda terjadi pergulatan ilmu hanya terdengar hiruk-pikuk yang bertalu-talu.

Di manakah aku harus mencari tahu? Kepada siapa aku harus berguru dan bagaimana cara yang benar mendapat ilmu?

Di depan sebuah bangunan megah yang sepintas seperti sekolah, aku menghentikan langkah. Ingin aku memastikan, apakah itu tempatnya untuk menempa diri jadi insan berguna.

Namun, kaki dan tubuhku sudah terlalu lelah. Dalam gundah, perasaan terbelah-belah. Rasanya aku belum juga menjumpai sekolah yang dikatakan orang bijak sebagai tempat sejati mendapatkan ilmu dan kearifan hakiki.

Manahan, 17 Oktober 2010